*Sepeninggal hujan deras sore itu,
tanah basah masih basah memecah suasana dengan aromanya. rintik gerimis sisa hujan.
Lantunan air jatuh menimpa logam, Gumaman semesta bertalu.
Tak sekali kita bertemu, tapi
tetap dalam ruang yang sama tanpa sapaan. Tak sekali kita saling menatap tapi
tak sekalipun berusaha bertegur sapa. Kita duduk dalam diam tak ada berbalas
kata. Kita duduk sejajar dalam diam, sambil berbalas kata dengan yang jauh
disana. Saat sepi aku membencinya, saat -sendiri aku memakinya. Berjuta Tanya
porak-poranda dalam pikiran, kenapa ada senyap saat riuh lebih menyenangkan.
Kenapa ada diam saat berisik terasa lebih dinamis.
Kabut tipispun turun perlahan,
dinginpun menyergap. Kita masih dalam posisi yang sama, Terperangkap diimajinasi
masing-masing. Dingin ini terasa berbeda terasa lebih menusuk saat kau
disampingku. Berusaha menghangatkan diri, sesekali ku rapatkan telapak tanganku.
kau hanya menatapku dari sudut mata lelahmu seakan mencari tau gerikku.
Pikiranku berkecamuk, kata-kata
acak dalam otak rasanya penuh dan seakan-akan ingin meledak untuk diucapkan.
Tapi sama saja selalu kelu untuk kuucapkan, Senyap. Sampai akhirnya …
“aku benci sepi selalau membuatku
merasa sendiri, sekalipun riuh semua hanya omong kosong saat kita terjebak
dalam dunia abu-abu tanpa dialog”
Sebuah kalimat berat yang
bercampur kata-kata konotasi, awalnya susah kumenengerti memecah sore sepi itu.
Mataku sepertinya punya otak sendiri ,tanpa banyak pikir kucoba menangkap
pancaran mata yang berbeda darinya.
percikan langitpun turun menimpa
kami, tak beranjak.
--to be continue--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar